Pengikut

Selasa, 29 November 2011

Sejarah Taman siswa

Nama Pendiri :
Ki Hajar Dewantara
Nama Asli:
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat
Lahir:
Yogyakarta, 2 Mei 1889
Wafat:
Yogyakarta, 28 April 1959

Pendidikan:
* Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda)
* STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) tidak tamat
* Europeesche Akte, Belanda
* Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957

Karir:
* Wartawan Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara
* Pendiri Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922
* Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama.

Organisasi:
* Boedi Oetomo 1908
* Pendiri Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) 25 Desember 1912

Penghargaan:
Bapak Pendidikan Nasional, hari kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional
Pahlawan Pergerakan Nasional (surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959)
Panji Tamansiswa











Pendiri Taman Siswa ini adalah Bapak Pendidikan Nasional. Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 28 April 1959 dan dimakamkan di sana.

Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.

Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.

Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.

Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.

Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.

Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.

Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".

Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.

Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.

Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.

Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.

Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.

Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.

Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.

Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.

Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.

Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.

Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
Konsep Pendidikan Tamansiswa :
Tamansiswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan pendidikan dalam arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Tamansiswa, pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb; sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan.

Tamansiswa anti intelektualisme; artinya siapa pun tidak boleh hanya mengagungkan kecerdasan dengan mengabaikan faktor-faktor lainnya. Tamansiswa mengajarkan azas keseimbangan (balancing), yaitu antara intelektualitas di satu sisi dan personalitas di sisi yang lain. Maksudnya agar setiap anak didik itu berkembang kecerdasan dan kepribadiannya secara seimbang.

Tujuan pendidikan Tamansiswa adalah membangun anak didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya. Meskipun dengan susunan kalimat yang berbeda namun tujuan pendidikan Tamansiswa ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.

Kalau di Barat ada “Teori Domein” yang diciptakan oleh Benjamin S. Bloom yang terdiri dari kognitif, afektif dan psikomotorik maka di Tamansiswa ada “Konsep Tringa” yang terdiri dari ngerti (mengeta-hui), ngrasa (memahami) dan nglakoni (melakukan). Maknanya ialah, tujuan belajar itu pada dasarnya ialah meningkatkan pengetahuan anak didik tentang apa yang dipelajarinya, mengasah rasa untuk meningkat-kan pemahaman tentang apa yang diketahuinya, serta meningkatkan kemampuan untuk melaksanakan apa yang dipelajarinya.

Pendidikan Tamansiswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Dalam sistem ini setiap pendidik harus meluangkan waktu sebanyak 24 jam setiap harinya untuk memberikan pelayanan kepada anak didik sebagaimana orang tua yang memberikan pelayanan kepada anaknya.

Sistem Among tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem Tutwuri Handayani. Dalam sistem ini orientasi pendidikan adalah pada anak didik, yang dalam terminologi baru disebut student centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan pendidikan lebih didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu dikembangkan pada anak didik, bukan pada minat dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik. Apabila minat anak didik ternyata akan ke luar “rel” atau pengembangan potensi anak didik di jalan yang salah maka pendidik berhak untuk meluruskannya.

Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Tamansiswa menyelanggarakan kerja sama yang selaras antartiga pusat pendidikan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan perguruan, dan lingkungan masyarakat. Pusat pendidikan yang satu dengan yang lain hendaknya saling berkoordinasi dan saling mengisi kekurangan yang ada. Penerapan sistem pendidikan seperti ini yang dinamakan Sistem Trisentra Pendidikan atau Sistem Tripusat Pendidikan.

Pendidikan Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat Alam (memperhatikan sunatullah), Kebudayaan (menerapkan teori Trikon), Kemerdekaan (memperhatikan potensi dan minat maing-masing indi-vidu dan kelompok), Kebangsaan (berorientasi pada keutuhan bangsa dengan berbagai ragam suku), dan Kemanusiaan (menjunjung harkat dan martabat setiap orang).

Visi & Misi

A. Visi
Visi persatuan Taman Siswa dan cabang-cabangnya adalah sebagian badan Perjuangan Kebudayaan dan Pembangunan masyarakat serta penyelenggaraan pendidikan dalam arti luas dalam bentuk perguruan.

B. Misi :
1. Melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia .
2. Mewujudkan masyarakat tertib damai salam dan bahagia sesuai masyarakat merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mempertajam daya cipta, rasa dan karsa manusia.

C. Usahanya :
1. Dalam rangka melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia , cabang-cabang dapat bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan Propinsi dan Kabupaten / Kota membuka sanggar-sanggar budaya atau seminar-seminar tentang kebudayaan.
2. Dalam rangka mewujudkan masyarakat tertib damai, salam dan bahagia cabang-cabang dapat bekerja sama dengan Dinas Sosial Propinsi / Kabupaten / Kota dan lembaga social tingkat Propinsi / Kabupaten / Kota dalam rangka memerangi kemiskinan, keterbelakangan, dan penyakit-penyakit masyarakat.
3. Dalam rangka menyelenggarakan pendidikan dalam arti luas (pendidikan jalur formal, informal, dan non formal) dalam bentuk perguruan, Cabang-cabang dapat bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Propinsi Kabupaten / Kota dalam rangka mengentaskan kebodohan, memeratakan kualitas pendidikan.

Cabang-cabang dapat menyelenggarakan :
1. Pendidikan jalur formal dari T. Indria sampai dengan Perguruan Tinggi baik umum maupun kejuruan.
2. Pendidikan jalur informal berupa nasehat, petuah, dan keteladanan hidup tertib damai salam dan bahagia terhadap siswa, orang tua siswa, dan masyarakat umum.
3. Pendidikan jalur nonformal berupa : sarasehan, seminar, ceramah-ceramah tentang pendidikan Anak Usia Dini (PAUD / Kelompok Belajar), menyelenggarakan Paket A,B,C Pemberantasan aksara kursus, kursus, dsb.

Musibah ambruknya jembatan tenggarong

Oleh : Jakob Siringoringo. Musibah ambruknya Jembatan Kartanegara di Sungai Mahakam
Tenggarong, Kalimantan Timur menelan korban tewas belasan orang, 33 hilang, dan 40 luka-luka menurut pendataan terkini. Belum lagi daftar korban hilang yang belum teridentifikasi.
Di tengah hiruk-pikuk persoalan yang kita hadapi, negara harus berkabung sejenak. Jika menimbang sedikit kegembiraan atas prestasi juara umum di Sea Games 22 November lalu, kehadiran musibah baru ini menimbang kemudian menjadi keprihatinan bersama. Di jembatan ini warga masyarakat lalu lalang menambah kantung perekonomian Kalimantan dan negara. Artinya aktivitas penyeberangan di jembatan ini seharusnya memberi penghidupan dan memang selama kurang lebih 10 tahun ini telah menyumbang, namun pula bukan menjadi pengancam nyawa.

Jembatan kabel gantung berbiaya Rp 150 miliar itu harus lenyap dalam kurun waktu 30 detik. Inilah yang masih menyimpan tanya atas ambruknya Jembatan Mahakam. Bagaimana merekonstruksi ulang proses pembangunan jembatan ini sebaiknya diserahkan pada ahlinya. Dalam tulisan ini hanya bisa menggambarkan bagaimana anehnya jembatan berbiaya sangat besar ini runtuh hanya dalam tempo yang sangat singkat, setengah menit lebih singkat dari berbicara.

Konstruksi

Kerugian akibat ambruknya jembatan dengan panjang 710 meter ini tidak saja hanya secara material. Lebih mengenaskan adalah para penyeberang, baik yang tengah berkendaraan roda dua maupun mobil harus meregang nyawa menjadi korban. Nyawa hilang di tengah megahnya jembatan dengan pemandangan arus sungai dari bawah yang membayar mahalnya perjalanan menempuh daratan ‘dua’ Tenggarong.

Bangunan berbiaya 150 miliar itu kini menjadi saksi hidup perjalanan pembangunan yang terus menjadi sorotan publik. Berbicara dari segi ilmiah, jembatan runtuh tidak akibat adanya penurunan tanah ataupun goncangan bumi yang jika disimpulkan menjadi tragedi alam. Tidak. Maka perlu sekali menimbang konstruksi bangunan secara tepat bukan dihasut intervensi sebab bangunan bukanlah bangunan biasa. Bukan bangunan biasa, jembatan Mahakam ini memang tergolong bangunan yang memerlukan ketelitian dan daya ketahanan luar biasa mengingat bebannya yang menggantung di atas sungai dan harus menjamin keselamatan ekstrem.

Jika daya tahan tidak berimbang dengan penyangga, maka jembatan tidak layak. Hal itu dapat dilihat dengan jelas pada Jembatan Ampera di Palembang salah satu contoh konkret. Artinya, pembangunan jembatan gantung seperti ini tidak mengandung kesan main-main. Jadi, jembatan itu tidak hanya atas nama keindahan apalagi ekonomi, tetapi juga kemanusiaan. Pertimbangan matang akan sisi kemanusiaan dari segi keselamatan menjadi yang utama dan harus dikedepankan sebelum opsi-opsi lainnya mendukung.

Aneh

Mempertanyakan konstruksi bangunan adalah hal yang paling mungkin untuk diteliti saat ini. Pertimbangannya jelas dengan alasan logika ilmiah yang tentu berhubungan secara fisika, dapat dikalkulasikan. Berangkat dari kalkulasi sederhana yang terukur lewat perhitungan memungkinkan kita membuka mata. Artinya, dengan labih jelas dapat umum ketahui bagaimana hancurnya sebuah bangunan mewah adalah karena sesuatu yang terjadi di alam pikiran. Nyata dan logis untuk dikonsumsi publik.

Penelitian akan mungkin menjawab peristiwa naas sekaligus aneh di seantero dunia itu. Di mana umur yang masih muda tidak menjamin kepercayaan pengguna jalan. Buktinya masih dalam kurun waktu 10 tahun jembatan itu sendiri menelan korbannya dan memutus hubungan antardaratan yang sangat sulit di wilayah Kalimantan, untuk saat ini.

Sedikit melantur pada peristiwa penting lain baru-baru ini, penulis teringat pada kasus Mohammad Nazaruddin (mantan Bendahara Partai Demokrat). Kasus korupsi yang didakwakan pada Nazaruddin terkait dengan korupsi pembangunan di Palembang Sumatera Selatan, yaitu terkait Sea Games 2011. Dana yang diperuntukkan penuh untuk membangun keperluan olahraga termegah se-Asia Tenggara itu ternyata lebih dulu ditelap oleh salah satunya Nazaruddin.

Dengan berita yang memilukan sekaligus memalukan itu, penulis hampir tak percaya seluruh konstruksi bangunan di Sea Games 2011 Palembang itu bertahan atau layak digunakan para atlet hingga penghujung pesta dua tahunan itu.

Masih segar dalam ingatan kolektif kita bahwa beberapa hari sebelum hari H, pembangunan ketika itu belum sepenuhnya selesai. Dan jika pun selesai, sejujurnya belum layak dipergunakan. Namun, karena perhelatan akbar ini sudah dan tidak mungkin ditunda lagi, seluruh bangunan yang diperlukan untuk masing-masing perlombaan pun akhirnya dilayak pakaikan.

Kembali ke Kalimantan Timur, jembatan berbiaya tidak tanggung-tanggung itu kini menyimpan misteri dan harus diungkapkan sesegera mungkin. Jangan lagi membuat permasalahan kian panjang dengan berlarut-larutnya penyelesaian. Kejadian aneh ini jelas mengusik siapa saja yang masih memiliki akal dan nalar. Sepuluh tahun usia sebuah bangunan megah tidaklah waktu yang ideal. Mungkin-mungkin di dalamnya ada yang tidak beres. Dengan demikian, peristiwa ini bukan lagi merupakan sebuah musibah, melainkan menjadi masalah, tentu di dalamnya bergulung-gulung kasus berbelit.

Atau ini akan menjadi pembuka bangunan-bangunan ke depan untuk diantisipasi? Di mana 30 detik yang mematikan menjawab kualitas Jembatan Mahakam. Sungguh keanehan yang mendunia. Sebab perhitungannya jika memperhatikan waktu penyebab keruntuhan, hampir sama dengan ledakan bom dahsyat.

Penyebab sementara dari ambruknya jembatan ini memang masih sulit dibuktikan. Namun, inilah yang menjadi pertanyaan dalam beberapa hari ke depan guna memastikan apakah berkaitan dengan sesuatu yang tidak didugan sama sekali.

Sementara itu, pemberitaan media bahwa penyebab pasti dari keruntuhan ini akibat terjadi kelalaian. Runtuhnya Jembatan Kartanegara di Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Sabtu (26/11) sekitar pukul 16.15 Wita, dipastikan akibat kelalaian. (Kompas 28/11/2011)

Sembari mendapatkan kabar yang lebih valid berdasarkan penelitian tentu kita berharap bahwa secepatnya pengungkapan seputar masalah aneh ini dapat dipecahkan.

Peristiwa ini harus dijadikan pelajaran ke depan mengingat pembangunan sejenis jembatan ini sangat memberi dampak bagi perkembangan perekonomian daerah setempat.

Menyikapi keganjilan ini, sejatinya pemerintah dengan tegas dan tanggap segera menyelidiki penyebab masalah ini bisa terjadi. Akhirnya keanehan ambruknya jembatan gantung terpanjang di Indonesia dan disebut sebagai Golden Gate di Kalimantan itu dapat dipahami bersama.

Memang sejauh ini, presiden dalam hal ini Susilo Bambang Yudoyono sendiri langsung menggelar rapat dan menginstruksikan pada Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono dan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto agar meninjau lokasi.

Selain itu, Kapolri Timur Pradopo juga menginstruksikan segera mengutus Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Sutarman untuk menyelidiki runtuhnya jembatan itu.

Namun tidak hanya sampai di situ, lebih penting diharapkan adalah proses dan hasil yang dapat mengungkap penyebab 30 detik ambruknya Jembatan Kartanegara. Semoga.

Penulis adalah aktivis KDAS

Selasa, 22 November 2011

Riwayat Ki Hajar Dewantara

 



Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.

Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.


Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.


Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.


Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.

Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.

Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.

Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".

Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.

Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.

Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.

Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.

Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.

Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.

Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.

Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.

Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.

Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.

Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.

Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).

Ref :http://www.eramuslim.net/?buka=show_biografi&id=18